Kajian Prosa Fiksi



Kajian Unsur Intrinsik Cerpen “Solawat Dedaunan”
Oleh: Sisca Gustiati P.

            Cerpen dilengkapi oleh unsur-unsur penting yang membangunnya. Unsur itu terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik antara lain, tema, alur latar, penokohan, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik yaitu nilai-nilai yang terkandung pada sebuah cerpen.
            Saya akan mencoba untuk menelaah unsur-unsur intrinsik yang ada pada cerpen “Solawat Dedaunan”.
Tema
Tema adalah gagasan yang menjalin stuktur isi cerita, yang menyangkut segala persoalan yaitu persoalan kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya. Dalam cerpen ini dapat kita lihat tema melalui alur cerita di mana dalam cerita ini terdapat peristiwaa sosial. Di sini pengarang menggambarkan pertama-tama mengenai keadaan sebuah mesjid yang kecil dan sudah tua  yang memiliki halaman yang luas dan pohon yang besar seakan-akan melindungi masjid itu,di sana dumulai kejadian yang mengubah keadaan menjadi terbalik yaitu dengan munculnya tokoh nenek. Nenek yang melakukan suatu perbuatan yang membuat orang ramai berbondong-bondong untuk mendatangi mesjid itu yaitu si nenek melakukan pekerjaan memungut daun-daun yang berserakan di halaman mesjid itu tanpa berhenti dan terdengar dia selalu berguman memohon ampunan dan bersolawat. Dapat dilihat dari petikan paragraf pertama, kedua , ketiga.
     “Masjid itu hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan, kau akan segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal, jendelanya tak berdaun, hanya lubang segi empat dengan lengkungan di bagian atasnya. Begitu juga pintunya, tak berdaun pintu. Lantainya menggunakan keramik putih- kuduga itu baru kemudian dipasang, karena modelnya masih dibisa dijumpai di toko-toko material.
     Masjid itu kecil saja, mungkin hanya bisa menampung sekitar 50 orang berjamaah. Namun, halaman masjid itu cukup luas. Di hadapan bangunan masjid itu tumbuh pohon trembesi yang cukup besar. Mungkin saja usianya sudah ratusan tahun. Mungkin saja si pembangun masjid ini dulunya berangan-angan betapa sejuknya masjid ini di siang hari kerana dinaungi pohon trembesi. Mungkin saja begitu.
     Begitu besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan cabangnya yang menjulur ke segala arah, membentuk semacam payung, membuat kita pun akan berpikir, masjid ini memang dipayungi trembesi. Cantik sekali. Namun, masjid ini sepi. Terutama jika siang hari. Subuh ada lima orang berjamaah, itu pun pengurus semua. Magrib, masih lumayan, bisa mencapi dua syaf. Isya...hanya paling banyak lima orang. Begitu setiap hari, entah sejak kapan dan akan sampai kapan hal itu berlangsung.”
Dari petikan di atas Pengarang ingin menyadarkan bahwa bagaiman kita harus bersikap sebagai umat muslim yang baik jangan memandang keadaan mesjid itu sepi padahal seharusnya berkewajiban untuk memakmurkan mesjid, besar atau kecil masjid itu dan bagus atau tidaknya masjid itu ,juga bangunan baru atau lama. Karena fenomena itu terjadi pada zaman sekarang dapat kita lihat di setiap sudut ada banyak masjid yang dibangun tetapi sedikit jamaahnya dan yang bangunan masjid yang dulu dan sudah tua tidak dipelihara malah membangun yang baru seharusnya yang bangunan dulu itu yang direnovasi, di sini pengarang juga menggambarkan bagaimana keadaan sosial kita yang melakukaan sesuatu itu karena ingin terpuji dan terpandang di sekitanya. Dan ini juga dapat terlihat kejadian sosial lainnya melalui peristiwa si nenek yang memunguti daun-daun dengan bersolawat dapat kita lihat dari petikan cerpen yaitu ;
     “Tanpa berkata apapun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Hari bergulir ke Magrib. Dan si nenek masih saja di tempat semula, nyaris tak beranjak, memunguti dedaunan yang selalu saja berguguran di halaman.
     Peristiwa si nenek itu ternyata mengundang perhatian banyak orang. Mereka berdatangan ke masjjid. Niat mereka mungkin ingin menyaksikan si nenek, tetapi begitu bertepatan waktu shalat masuk, mereka melakukan shalat berjamaah. Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang datang berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau sekadar memberinya minum. Dan, semuanya selalu berjamaah di masjid.”
Semenjak peristiwa itu keadaan masjid menjadi ramai dan penuh oleh orang-orang yang berjamaah, sampai nenek itu meninggal. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa sangat berat beban yang dipikul untuk mendapatkan pengampunan-Nya. Dan orang-orang mesti melihat diberikan contoh yang seperti itu baru mereka sadar diri, pahalah kita harus selalu berusaha berbuat kebaikan untuk bekal kita di akhirat nanti dan berusaha terus selama hidup kita untuk mengharapkan ampunan dari-Nya, yang semua itu kita serahkan kembali kepada-Nya, karena Dialah yang maha berkehendak.
     Dari gambaran di atas maka tema cerpen ini dapat dirumuskan adalah kita sebagai umat muslim harus senantiasa memakmurkan masjid, dan berusaha melakukan perbuatan –perbuatan atau amalan yang baik untuk bekal di akhirat nanti walaupun kita tidak akan luput dari dosa. Jika kita melakukan dosa, cepetlah bertaubat dengan taubatan nasuha. Dan hiasilah bibir kita dengan ucapan istigfar dan solawat.
Alur
     Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat yang menyajikan peristiwa yang jalin-menjalin berdasar atas urutan waktu, urutan kejadian, atau hubungan tertentu. Alur pada cerpen ini dapat kita lihat ketika kemunculan si nenek di masjid tua itu.
     “sesaat ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
“Alaikum salam....nek,” jawab salah seorang pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an. Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua. “Ada apa?” tanya Haji Brahim, seraya mendekat. “Saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.” Sesaat ketiga pngurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan dedaunan trembesi. Satu dua buahnya gemeletak di atap.
“Silakan nenek ambil wudu dan shalat,” ujar Haji Brahim sambil tersenyum.
Nenek itu dian beberapa saat. Tanpa berkata apa pun, dia kemudian memungut daun yang tergelatak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhkan, lalu dimasukkannya ke kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan berikutnya.....
     Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu.
Haji Brahim dan eorang pengurus kemudian ikut turun dan mengambil sapu lidi.
“Jangan....jangan pakai sapu lidi.....dan biarkan saya sendiri melakukan ini.”
“Tapi nanti nenek lelah.”
“Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?” ujar si nenek seperti berguman.
Haji Brahim tercekat. Ada sesuatu yang menyelinap di sanubarinya. Dilihat si nenek kembali memungut dan memungut daun-daun itu helai demi helai. Dan, demi mendengar apa yang terguman dari bibir tua itu, Haji Brahim menangis.
Dari bibirnya tergumam kalimat permintaan ampun dan sanjungan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia menggumamkan “Gusti, mugi paringa aksama. Paringa kanugrahan dateng Kanjeng Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik.
Haji Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti ingin bersaksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan pengampunan.
Alur cerpen ini diawali dengan pengenalan, lalu pengungkapan peristiwa, lalu puncak konflik dan penyelesaian peristiwa. Konflik dalam cerpen ini adalah konflik dengan Tuhan dan konflik batin. Tokoh Haji Brahim yang merupakan ketua DKM di masjid itu yang lebih tahu ilmu agamanya dibandingkan dengan si nenek merasa tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek dalam berusaha mencari jalan pengampunan sampai Haji Brahim menangis, karena begitu berusahanya si nenek walaupun dengan pekerjaan sederhana itu, yang mempertanyakan sebepara besar keimanan dan keyakinan kita itu.
Latar
     Latar ialah penempatan waktu dan tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. (Nadjid ; 2003:25). Dan latar ini terbagi menjadi  tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, latar sosial.
a.       Latar tempat
Lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam cerpen ini berada di masjid tua yang kecil di daerah Jawa. Dapat kita lihat pada petikan kalimat yaitu:
“Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia menggumamkan “Gusti, mugi paringa aksama. Paringa kanugrahan dateng Kanjeng Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik.”
Salah satu kata yag digumamkan oleh si nenek yaitu kata “aksama” merupakan kata yang berasal dari daerah Jawa yang artinya ampunan, memaafkan, kata ini merupakan kata Jawa ngoko atau Jawa lama.
b.      Latar waktu
Latar waktu pertama yaitu pada siang hari seuasi shalat Jumat. Dapat kita lihat dari petikan cerpen yaitu ;
“ Suatu siang, seusai shalat Jumat, ketika orang-orang sudah lenyap semua entah ke mana, Haji Brahim dan dua pengurus lainnya masih duduk bersila di lantai masjid.”

Latar waktu kedua yaitu pada malam hari sampai azan Subuh. Dapat kita lihat dari petikan cuplikan cerpen  yaitu :
“Malam itu, Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek. Pengurus masjid yang semula akan menunggui, sepulang Haji Brahim, ternyata juga tak tahan. Bahkan, belum lima menit Haji Brahim pergi, diam-diam pelang.
Tak ada yang tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu subuh tiba, Mijo yang akan azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan gerakan yang sama. Udara begitu dingin. Beberapa kali si nenek terbatuk.”

Latar waktu ketiga yaitu pada waktu Ashar atau sore dua hari kemudian. Dapat kita lihat yaitu :
“Dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal.”

c.       Latar sosial
Latar sosial cerpen ini yaitu keadaan masyarakat yang tidak memakmurkan masjid, mungkin karena kesibukan duniawi dan kurangnya orang-orang untuk menafkahkan rizkinya di jalan Allah atau kurangnya bersedekah kepada masjid, dan banyaknya orang-orang kaya yang menimbun kekeayaannya tanpa sepeserpun untuk berniat disedekahkan, seperti cuplikan cerita itu yaitu :
Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu ida dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45 orang. Pernah terpikirkan untuk memperluas bangungan, tetapi dana tak pernah cukup.

Penokohan
Penokohan adalah cara pengarang dalam menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Tokoh –  tokoh pada cerpen ini yaitu:
a.       Haji Brahim yaitu tokoh yang menjabat ketua masjid selama mungkin 30 tahun, orangnya berprinsip keras, Sabar dan tetap bersyukur dalam keadaan apapun tetapi membuka hati untuk melihat kebenaran.
Dapat kita lihat dari cuplikan cerpen itu yaitu ;
Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45 orang. Pernah terpikir untuk memperluas bangunan, tetapi dana tak pernah cukup. Mencari sumbangan tidak mudah, dan Haji Brahim tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan di jalan raya ----- sebagaimana dilakukan banyak orang___. “Seperti pengemis saja .......,”gumannya.

b.      Si nenek
Nenek tua  dengan badan bungkuk, berjalannya tertatih-tatih, keras, dan memiliki kepolosan dan keluguan. Dapat kita lihat dari penggalan cerpen itu yaitu ;
“Sesaat ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek tiu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
Haji Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti ingin bersaksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan pengampunan.”

Sudut Pandang
     Sudut pandang adalah cara memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu, posisi pengarang dalam membawakan cerita. Posisi pengarang terdiri atas dua macam, yaitu berperan langsung sebagai orang pertama dan hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat.
     Pada cerpen “Solawat Dedaunan” pengarang memposisikan diri sebagai tokoh tambahan. Dalam sudut pandang ini, tokoh “Aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan. Tokoh”aku” hadir untuk membawakan cerita, sedangkan tokoh cerita itu kemudian dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Setelah cerita tokoh utama itu habis, “aku” tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah. Dengan demikian si “aku” hanya  tampil sebagai saksi saja. Si “aku” tampil sebagai pengantar dan penutup cerita. Dapat dilihat pada penggalan cerita yaitu :
Pada paragraf pertama :
“Lantainya menggunakan keramik putih-----kuduga itu baru kemudian dipasang, karena modelnya masih bisa dijumpai di toko-toko material.”

Paragraf Terakhir :

“Lama setelah kisah itu sampai kepadaku, aku tercenung. Rupanya, menurut Haji Brahim kepadaku, nenek itu hadir mungkin sebagai contoh. “Mungkin juga dia memang berdosa besar----- sesuai pengakuannya kepada saya, “ucap Haji Brahim kepadaku beberapa waktu lalu. “Dan....dia melakukan semacam istigfar dengna mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu....saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.”
“Pasti banyak yang mau menyapu halaman, “ godaku.
“Iya.....ha-ha-ha....benar.”
“Memagnya bisa begitu, Ji?”
“Maksudnya, ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha-berkehendak, apa pun jika Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.”



Amanat
     Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui karyanya.
 Amanat yang terkandung pada cerpen “Solawat Dedaunan” yaitu berusahalah mencari jalan pengampunan walaupun sampai ajal menjemput kita, berbuat amal lah karena mungkin setiap amalan itu akana menjadi saksi  di akhirat nanti. Selalu senantiasa beristgfar dan bersolawat, apabila kita berbuat dosa maka cepat-cepatlah bertaubat. Dan tetap yakin dan berharap ampunan-Nya. Allah maha berkehendak, apa pun jika Dia berkenan, maka dikabulkan. Seperti pada penggalan kalimat cerpen itu yaitu:

“Dan....dia melakukan semacam istigfar dengan mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu....saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.”
“Pasti banyak yang mau menyapu halaman,” godaku.
“Iya.....ha-ha-ha....benar.”
“Memangnya bisa begitu, Ji?”
“Maksudnya, ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha –berkehendak, apa pun jika Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.

Gaya Bahasa
     Gaya bahasa yagn dipergunakan untuk menciptakan nada atau suasana persuasif dan merumuskan dialog yang memperlihatkan hubungan dan interaksi antar tokoh.
     Dalam cerpen “Solawat Dedaunan” gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa lugas yang disajikan dengan sederhana dan merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan interaksi antar tokoh, dan menjelmakan suasana yang berterus terang atau satiris, simpatik,atau emosional, dan menggambarkan harapan. Dapat kita lihat pada beberapa adegan pada cerpen ini yaitu:

“Tiga puluh ribu, Pak,” ucap salah seorang seperti protes pada entah apa.
“Alhamdulillah.”
“Dengan yang minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli cat tembok.”
“Ya, sudah.....nanti kan cukup,” ujar Haji brahim tenang”

Dapat kita lihat gaya bahasa yan lugas yang mudah dimengerti oleh siapapun.

“Setelah memasukkan daun  itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan berikutnya.....
Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu.”
“Haji Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti ingin bersksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan pengampunan.”

Dapat kita lihat suasana yang ditimbulkan sangat mengharukan, membuat simpati dan adanya sebuah pengharapan yaitu mencari jalan pengampunan.

Posted by : puspitasari_gustiati@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar